Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda
رضى الرب في رضى الوالد وسخط الرب في سخط الوالد
((Keridhoan Allah berada pada keridhoan orangtua dan kemarahan Allah berada pada kemarahan orangtua))[1]
عن
معاوية بن جاهمة السلمي أن جاهمة جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال
يا رسول الله أردت أن أغزو وقد جئت أستشيرك فقال هل لك من أم قال نعم قال
فالزمها فإن الجنة تحت رجليها
Dari Mu’awiyah bin Jahimah As-Sulami bahwasanya Jahimah datang kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam lalu berkata, “Ya Rasulullah, aku hendak berjihad, aku menemuimu untuk meminta pendapatmu”. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Apakah engkau memiliki ibu?”, ia menjawab, “Iya”, Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Senantiasalah bersamanya, sesungguhnya surga berada di bawah kedua kakinya”[2]
Maka
hendaknya seorang anak berusaha untuk mencarai keridhoan orangtua,
menyenangkan hati orangtua, membuat mereka tersenyum dan tertawa.
Sesungguhnya senyuman orangtua karena ridho terhadap anaknya meskipun
nampaknya sepele namun ia bernilai besar di sisi Allah.
Jika orang tua telah tiada, maka yang harus kita lakukan adalah:
- Meminta ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan taubat nashuha (jujur) bila kita pernah berbuat dur-haka kepada keduanya di waktu mereka masih hidup.
- Menshalatkannya dan mengantarkan jenazahnya ke kubur.
- Selalu memintakan ampunan untuk keduanya.
- Membayarkan hutang-hutangnya.
- Melaksanakan wasiat sesuai dengan syari’at.
- Menyambung silaturrahim kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya.
Semoga
dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam tersebut, kita
dimudahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam mewujudkan keluarga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah. Aamiin.
[Disalin
dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin
Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke
II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
KISAH KEDURHAKAAN KEPADA ORANG TUA
Diceritakan
ada lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai tega menyeret
ayahnya ke pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang ayah ini
dikarunia anak yang lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret bapaknya
sampai kejalanan untuk mengusirnya dari rumahnya. Maka sang bapak
berkata : “Cukup… Dulu aku hanya menyeret ayahku sampai pintu depan”.
Sang anak menimpali : “Itulah balasanmu. Adapun tembahan ini sebagai
sedekh dariku!”.
Kisah
pedih lainnya, seorang Ibu yang mengisahkan kesedihannya : “Suatu hari
istri anakku meminta suaminya (anakku) agar menempatkanku di ruangan
yang terpisah, berada di luar rumah. Tanpa ragu-ragu, anakku
menyetujuinya. Saat musim dingin yang sangat menusuk, aku berusaha masuk
ke dalam rumah, tapi pintu-pintu terkunci rapat. Rasa dingin pun
menusuk tubuhku. Kondisiku semakin buruk. Anakku ingin membawaku kesuatu
tempat. Perkiraanku ke rumah sakit, tetapi ternyata ia mencampakkanku
ke panti jompo. Dan setelah itu tidak pernah lagu menemuiku”
Sebagai
penutup, kita harus memahami bahwa bakti kepada orang tua merupakan
jalan lempang dan mulia yang mengantarkan seorang anak menuju surga
Allah. Sebaliknya, kedurhakaan kepada mereka, bisa menyeret sang anak
menuju lembah kehinaan, neraka.
Hati-hatilah, durhaka kepada orang tua, dosanya besar dan balasannya menyakitkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya
: Akan terhina, akan terhina dan akan terhina!” Para sahabat bertanya,
“Wahai Rasulullahj, siapakah gerangan ?” Beliau bersabda, “Orang yang
mendapati orang tuanya, atau salah satunya pada hari tuanya, namun ia
(tetap) masuk neraka” [Hadits Riwayat Muslim]
[Diadaptasi
dari Idatush Shabirin, oleh Abdullah bin Ibrahim Al-Qa’rawi dan Ilzam
Rijlaha Fatsamma Al-Jannah, oleh Shalihj bin Rasyid Al-Huwaimil]
[Disalin
dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425/2005M. Penerbiit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton
Gondangrejo – Solo 57183]
sumber : almanhaj.or.id
KISAH TELADAN KEPADA ORANG TUA
Aku
mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk
masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang
aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku
mengadu.
“Wahai
Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk Islam, namun dia
menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu yang aku benci.
Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu Hurairah”.
Rasulullah bersabda : “Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu Hurairah”. Aku
keluar dengan hati riang karena do’a Nabi. Ketika aku pulang dan
mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar kakiku dan
berkata : “Tetap di situ Abu Hurairah”. Aku mendengar kucuran air.
Ibu-ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta menutup
wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata : “Wahai, Abu
Hurairah ! Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah wa Asyhadu Anna Muhammadan
Abduhu wa Rasuluhu”. Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan menangis
gembira. Aku berkata, “Wahai, Rasulullah, Bergembiralah. Allah telah
mengabulkan do’amu dan menunjuki ibuku”. Maka beliau memuji Allah dan
menyanjungNya serta berkomentar baik” [Hadits Riwayat Muslim]
Ibnu
Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya
: “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku) wahai Ibnu Umar?” Beliau
menjawab : “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitan (saat
persalinan)”.
Zainal
Abidin, adalah seorang yang terkenal baktinya kepada ibu. Orang-orang
keheranan kepadanya (dan berkata) : “Engkau adalah orang yang paling
berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan berdua
dengannya dalam satu talam”? Ia menjawab,”Aku khawatir tanganku
mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya”.
Sebelumnya,
kisah yang lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais Al-Qarni, orang
yang sudah beriman pada masa Nabi, sudah berangan-angan untuk berhijrah
ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Namun perhatiannya kepada ibunya
telah menunda tekadnya berhijrah. Ia ingin bisa meraih surga dan
berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada ibu, kendatipun harus
kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia.
Dalam
shahih Muslim, dari Usair bin Jabir, ia berkata : Bila rombongan dari
Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka : “Apakah Uwais
bin Amir bersama kalian ?” sampai akhirnya menemui Uwais. Umar bertanya,
“Engkau Uwais bin Amir?” Ia menjawa,”Benar”. Umar bertanya, “Engkau
dari Murad kemudian beralih ke Qarn?” Ia menjawab, “Benar”. Umar
bertanya, “Engkau punya ibu?”. Ia menjawab, “Benar”. Umar (pun) mulai
bercerita, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Akan
datang pada kalian Uwais bin Amir bersama rombongan penduduk Yaman yang
berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah tertimpa lepra dan
sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam dirham. Ia mempunyai ibu
yang sangat dihormatinya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah,
niscaya aku hormati sumpahnya. Mintalah ia beristighfar untukmu jika
bertemu”.
(Umar
berkata), “Tolong mintakan ampun (kepada Allah) untukku”. Maka ia
memohonkan ampunan untukku. Umar bertanya, “Kemana engkau akan pergi?”.
Ia menjawab, “Kufah”. Umar berkata, “Maukah engkau jika aku menulis
(rekomendasi) untukmu ke gubernurnya (Kufah)?” Ia menjawab, “Aku lebih
suka bersama orang yang tidak dikenal”.
Kisah
lainnya tentang bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin Aun pernah
memanggil ibunya dengan suara keras, maka ia memerdekakan dua budak
sebagai tanda penyesalannya.
[Diadaptasi dari Idatush Shabirin, oleh Abdullah bin Ibrahim Al-Qa’rawi dan Ilzam Rijlaha Fatsamma Al-Jannah, oleh Shalihj bin Rasyid Al-Huwaimil]
[Diadaptasi dari Idatush Shabirin, oleh Abdullah bin Ibrahim Al-Qa’rawi dan Ilzam Rijlaha Fatsamma Al-Jannah, oleh Shalihj bin Rasyid Al-Huwaimil]
[Disalin
dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425/2005M. Penerbiit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton
Gondangrejo – Solo 57183]
Surat Dari Ibu Yang Terkoyak Hatinya
Anakku….
Ini surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan
deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang
gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya
setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya. Sejak
dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat
memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan
psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas
aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak
mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan
kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu
meneteskan air mata kegembiraan kami. Berikutnya, aku layaknya pelayan
yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku
demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan
permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu. Masa remaja pun engkau
masuki. Kejantananmu semakin terlihat, Aku pun berikhtiar untuk
mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat
engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia
lantaran engkau menempuh hidup baru. Seiring perjalanan waktu, aku
merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah
sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut
macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan,
meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku. Ibu sekarang
sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut
tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu
semakin susah melakukan gerakan.
Anakku…
Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima
kasih kepadanya. Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada
dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau
sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ? Ibu bertanya-tanya, dosa apa
yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi Ibu ? Baiklah,
anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama ini ?
Anakku..
Ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan
luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan,
sekaligus duka dan kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi
ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan
kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada
kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum
di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya,
Anakku… Walaupun bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…
Anakku…
Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal
dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat
kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di
sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang
menggugat.
Anakku..
Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah
air mataku, ringankanlah beban kesedihanku. Terserahlah kepadamu jika
engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah, “Barangsiapa beramal
shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka
itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri”.
Anakku…
Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan
yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah
persalinan, itulah nyawa Ibu. Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah
belaian sayag dan kelelahan Ibu saat engkau sakit. Ingatlah …..
Ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat : “Wahai, Rabbku,
sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil”.
Anakku… Allah berfirman: “Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat
pelajaran bagi orang-orang berakal” [Yusuf : 111] Pandanglah masa
teladan dalam Islam, masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih
hidup, supaya engkau memperoleh potret bakti anak kepada orang tua.
[Diadaptasi
dari Idatush Shabirin, oleh Abdullah bin Ibrahim Al-Qa’rawi dan Ilzam
Rijlaha Fatsamma Al-Jannah, oleh Shalihj bin Rasyid Al-Huwaimil]
[Disalin
dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425/2005M. Penerbiit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton
Gondangrejo – Solo 57183]
Urgensi Berbakti kepada Dua orang Tua
Ada
setumpuk bukti, bahwa berbakti kepada kedua orang tua –dalam wacana
Islam- adalah persoalan utama, dalam jejeran hukum-hukum yang terkait
dengan berbuat baik terhadap sesama manusia. Allah sudah
cukup mengentalkan wacana ‘berbakti’ itu, dalam banyak firman-Nya,
demikian juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
dalam banyak sabdanya, dengan memberikan ‘bingkai-bingkai’ khusus, agar
dapat diperhatikan secara lebih saksama. Di antara tumpukan bukti
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Allah ‘menggandengkan’ antara perintah untuk beribadah kepada-Nya, dengan perintah berbuat baik kepada orang tua:
“Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (Al-Israa : 23)
2. Allah memerintahkan setiap muslim untuk berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun mereka kafir:
“Kalau mereka berupaya mengajakmu berbuat kemusyrikan yang jelas-jelas tidak ada pengetahuanmu tentang hal itu, jangan turuti; namun perlakukanlah keduanya secara baik di dunia ini.” (Luqmaan : 15)
Imam
Al-Qurthubi menjelaskan, “Ayat di atas menunjukkan diharuskannya
memelihara hubungan baik dengan orang tua, meskipun dia kafir. Yakni
dengan memberikan apa yang mereka butuhkan. Bila mereka tidak
membutuhkan harta, bisa dengan cara mengajak mereka masuk Islam..[1]“
3. Berbakti kepada kedua orang tua adalah jihad.
Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki meminta ijin berjihad kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbuat baik terhadap keduanya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
4. Taat kepada orang tua adalah salah satu penyebab masuk Surga.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Sungguh kasihan, sungguh kasihan, sungguh kasihan.” Salah seorang Sahabat bertanya, “Siapa yang kasihan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang
yang sempat berjumpa dengan orang tuanya, kedua-duanya, atau salah
seorang di antara keduanya, saat umur mereka sudah menua, namun tidak
bisa membuatnya masuk Surga.” (Riwayat Muslim)
Beliau juga pernah bersabda:
“Orang tua adalah ‘pintu pertengahan’ menuju Surga. Bila engkau mau, silakan engkau pelihara. Bila tidak mau, silakan untuk tidak memperdulikannya.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, dan beliau berkomentar, “Hadits ini shahih.” Riwayat ini juga dinyatakan shahih, oleh Al-Albani.) Menurut para ulama, arti ‘pintu pertengahan’, yakni pintu terbaik.
5. Keridhaan Allah, berada di balik keridhaan orang tua.
“Keridhaan Allah bergantung pada keridhaan kedua orang tua. Kemurkaan Allah, bergantung pada kemurkaan kedua orang tua[2].”
6. Berbakti kepada kedua orang tua membantu meraih pengampunan dosa.
Ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sambil mengadu, “Wahai Rasulullah! Aku telah melakukan sebuah perbuatan dosa.” Beliau bertanya, “Engkau masih mempunyai seorang ibu?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” “Bibi?”Tanya Rasulullah lagi. “Masih.” Jawabnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda, “Kalau begitu, berbuat baiklah kepadanya.”
Dalam
pengertian yang ‘lebih kuat’, riwayat ini menunjukkan bahwa berbuat
baik kepada kedua orang tua, terutama kepada ibu, dapat membantu proses
taubat dan pengampunan dosa. Mengingat, bakti kepada orang tua adalah
amal ibadah yang paling utama.
7. Berbakti kepada orang tua, membantu menolak musibah.
Hal
itu dapat dipahami melalui kisah ‘tiga orang’ yang terkurung dalam
sebuah gua. Masing-masing berdoa kepada Allah dengan menyebutkan satu
amalan yang dianggapnya terbaik dalam hidupnya, agar
menjadi wasilah (sarana) terkabulnya doa. Salah seorang di antara mereka
bertiga, mengisahkan tentang salah satu perbuatan baiknya terhadap
kedua orang tuanya, yang akhirnya, menyebabkan pintu gua terkuak, batu
yang menutupi pintunya bergeser, sehingga mereka bisa keluar dari gua
tersebut. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
8. Berbakti kepada orang tua, dapat memperluas rezki.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin rezkinya diperluas, dan agar usianya diperpanjang (dipenuhi berkah), hendaknya ia menjaga tali silaturahim.” (Al-Bukhari dan Muslim)
Berbakti
kepada kedua orang tua adalah bentuk aplikasi silaturahim yang paling
afdhal yang bisa dilakukan seorang muslim, karena keduanya adalah orang
terdekat dengan kehidupannya.
9. Doa orang tua selalu lebih mustajab.
Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ada
tiga bentuk doa yang amat mustajab, tidak diragukan lagi: Doa orang tua
untuk anaknya, doa seorang musafir dan orang yang yang terzhalimi.”
10. Harta anak adalah milik orang tuanya.
Saat ada seorang anak mengadu kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah! Ayahku telah merampas hartaku.” Rasulullah bersabda, “Engkau dan juga hartamu, kesemuanya adalah milik ayahmu[3].”
11. Jasa orang tua, tidak mungkin terbalas.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Seorang anak tidak akan bisa membalas budi baik ayahnya, kecuali bila ia mendapatkan ayahnya sebagai budak, lalu dia merdekakan.” (Dikeluarkan oleh Muslim)
12. Durhaka kepada orang tua, termasuk dosa besar yang terbesar.
Dari Abu Bakrah diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Maukah kalian kuberitahukan dosa besar yang terbesar?” Para Sahabat menjawab, “Tentu mau, wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, dan durhaka terhadap orang tua.” Kemudian, sambil bersandar, beliau bersabda lagi, “..ucapan dusta, persaksian palsu..”
Beliau terus meneruskan mengulang sabdanya itu, sampai kami (para
Sahabat) berharap beliau segera terdiam. (Al-Bukhari dan Muslim)
13. Orang yang durhaka terhadap orang tua, akan mendapatkan balasan ‘cepat’ di dunia, selain ancaman siksa di akhirat[4].
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ada dua bentuk perbuatan dosa yang pasti mendapatkan hukuman awal di dunia: Memberontak terhadap pemerintahan Islam yang sah, dan durhaka terhadab orang tua[5].”
Alhamdulillah.
Kesemua bukti tersebut –dan masih banyak lagi bukti-bukti ilmiah
lainnya, termasuk konsensus umat Islam terhadap urgensi berbakti kepada
orang tua yang sama sekali tidak boleh terabaikan–, kesemuanya,
menunjukkan betapa bakti kepada orang tua adalah kebajikan maha penting,
bahkan yang terpenting dari sekian banyak perbuatan baik yang
diperuntukkan terhadap sesama makhluk ciptaan Allah. Sedemikian
pentingnya, hingga riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang adab,
prilaku dan sikap seorang anak terhadap orang tuanya, bertaburan dalam
banyak hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, bahkan juga dalam beberapa ayat Al-Qur’an.
[1] Tafsir Al-Qurthubi XIV : 65.
[2] Diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi, dan beliau berkomentar, “Hadits ini shahih.” Riwayat
ini juga dinyatakan shahih, oleh Al-Albani. Diriwayatkan juga oleh
Ath-Thabrani dalam Al-Awsath
[3] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albani
[4] Dicuplik dari wa bil waalidain ihsaana oleh Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsin –
[5] Diriwayatkan oleh Al-Hakim, dinyatakan shahih oleh Al-Albani.
Memuliakan Orang Tua
Pemuliaan
Islam terhadap sosok orang tua, amat lugas. Wujud pemuliaan itu sudah
beberapa langkah mendahului gemuruh propaganda sejenis, yang baru-baru
saja muncul belakangan ini, dari kalangan Barat. Sebut saja
contohnya: jaminan untuk kaum manula, perhatian terhadap kaum jompo dan
lain sebagainya. Kenapa demikian? Karena Islam sudah jauh-jauh hari
langsung menghadirkan ‘perintah tegas’ bagi seorang mukmin, untuk
berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
“Telah kami pesankan seorang manusia untuk senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (Al-Ahqaaf : 15)
Ibnu
Katsier menjelaskan, “Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita
untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, sekaligus juga melimpahkan
kasih sayang kita kepada mereka.” [Lihat Tafsir Al-Qur’aan Al-’Azhiem IV
: 159].
“Beribadahlah kepada Allah, jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (An-Nisaa : 36)
Perintah
itu, bahkan diseiringkan dengan perintah untukmengesakan Allah sebagai
kewajiban utama seorang mukmin. Sehingga amatlah jelas, perintah itu
mengandung ‘tekanan’ yang demikian kuat.
Sekarang, bandingkanlah
substansi ajaran Islam itu dengan realitas yang berkembang di berbagai
negara di dunia, termasuk di Indonesia sekarang ini. Banyak anak yang
enggan menyisihkan sebagian waktunya, mengucurkan keringat atau sekadar
berlelah-lelah sedikit, untuk merawat orang tuanya yang sudah ‘uzur’.
Terutama sekali, bila anak tersebut sudah berkedudukan tinggi, sangat
sibuk dan punya segudang aktivitas. Akhirnya, ia merasa sudah berbuat
segalanya dengan mengeluarkan biaya secukupnya, lalu memasukkan si orang
tua ke panti jompo!!
dinukil dari buletin ustadzkholid
Saat Ibunda Telah Wafat
Ada
beberapa wujud manefestasi cinta kasih kepada sang bunda, yang masih
dapat kita lakukan saat sang bunda sudah terlebih dahulu meninggalkan
dunia ini. Semua bentuk implementasi cinta kasih itu pada dasarnya lebih
bersifat tugas dan kewajiban kita. Dengan atau tanpa muatan cinta
kasih, semua tugas itu harus kita pikul. Namun adalah kenistaan, bila
kita melaksanakan semuanya tanpa landasan cinta kepadanya. Berikut ini,
penulis paparkan beberapa di antaranya:
Pertama: Melaksanakan perjanjian dan pesan sang bunda.
Diriwayatkan
dari Syaried bin Suwaid Ats-Tsaqafi, bahwa ia menuturkan, “Wahai
Rasulullah! Ibuku pernah berpesan kepadaku untuk memerdekakan seorang
budak wanita yang beriman. Aku memiliki seorang budah wanita berkulit
hitam. Apakah aku harus memerdekakannya?” “Panggil dia.” Sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Saat wanita itu datang, beliau bertanya, “Siapa Rabbmu?” Budak wanita
itu menjawab, “Allah.” “Lalu, siapa aku?” Tanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lagi. Wanita itu menjawab, “Engkau adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliaupun bersabda, “Merdekakan dia. Karena dia adalah wanita mukminah[1].”
Kedua: Mendoakan sang ibu, membacakah shalawat dan memohonkan ampunan baginya.
Ibnu Rabi’ah meriwayatkan: Saat kami sedang duduk-duduk bersama RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki dari kalangan Bani Salamah bertanya, “Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam! Apakah masih tersisa bakti kepada kedua orang tuaku setelah mereka meninggal dunia?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab,
“Ya. Bacakanlah shalat untuk mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka,
tunaikan perjanjian mereka, peliharalah silaturahim yang biasa
dipelihara kala mereka masih hidup, juga, hormati teman-teman mereka[2].”
Abu Hurairah meriwayatkan: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya,
Allah Azza wa Jalla bisa saja mengangkat derajat seorang hamba yang
shalih di Surga kelak. Si hamba itu akan bertanya, “Ya Rabbi, bagaimana
aku bisa mendapatkan derajat sehebat ini?” Allah berfirman, “Karena
permohonan ampun dari anakmu[3].”
Salah
satu dari tanda cinta kasih kita kepada ibu adalah munculnya
pengharapan agar si ibu selalu hidup berbahagia. Bila ia sudah meninggal
dunia, kita juga senantiasa mendoakannya, membacakan shalat untuknya
serta memohonkan ampunan untuknya. Semua perbuatan tersebut bukanlah
hal-hal yang remeh. Dan juga, amat jarang anak yang mampu secara telaten
melakukan semua kebajikan tersebut. Padahal, ditinjau dari segi
kelayakan, dan segi kesempatan serta kemampuan, sudah seyogyanya setiap
anak berusaha melakukannya. Dari kwantitas, semua amalan tersebut tidak
membutuhkan banyak waktu. Sekadar perhatian dan kesadaran, yang memang
sangat dituntut. Bila seorang anak merasa sangat kurang berbakti kepada
kedua orang tuanya, inilah kesempatan yang masih terbuka lebar, untuk
menutupi kekurangan tersebut, selama hayat masih dikandung badan.
Ketiga: Memelihara hubungan baik, dengan teman dan kerabat ibu.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang tetap ingin menjaga hubungan silaturahim dengan
ayahnya yang sudah wafat, hendaknya ia menjaga hubungan baik dengan
teman-teman ayahnya yang masih hidup[4].”
Keempat: Melaksanakan beberapa ibadah untuk kebaikan sang ibu.
Sa’ad
bin Ubadah pernah bertanya, “Ibuku sudah meninggal dunia. Sedekah apa
yang terbaik, yang bisa kulakukan untuknya?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, “Air. Gali saja sumur. Lalu katakan: ‘pahala penggunaan sumur ini, untuk ibu Saad[5].”
Demikianlah
sekilas tentang hubungan dengan ibu yang menjadi salah satu dari kedua
orang tua, sengaja dibatasi pembahasan ini hanya seputar ibu, agar lebih
singkat. Mudah-mudahan bermanfaat.
[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasaai.
[2] Diriwayatkan
oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak IV : 155, dan beliau berkata, “Hadits
ini shahih berdasarkan system periwayatan Al-Bukhari dan Muslim, namun
keduanya tidak mengeluarkan hadits tersebut. Adz-Dzahabi berkata,
“Shahih.”
[3] Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Awsath. Disebutkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id X : 210.
[4] Diriwayatkan oleh Abu Ya’la. Lihat penjelasannya dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah nomor 1342.
[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasaa-ie.
dinukil dari buletin ustadzkholid
Ketika orang tua telah berusia senja
1
Pada saatnya, usia juga yang membatasi kepawaian seorang
ibu mengasuh anaknya. Kasih ibu, memang tak dapat dihentikan sang
waktu. Namun sebagai manusia, kekuatannya tidak pernah abadi. Akhirnya,
sang ibu harus melalui juga masa-masa yang belum pernah dibayangkan
selama ini. Kulitnya mulai keriput, tenaganya mulai jauh berkurang,
tulang-tulangnyapun mulai terasa rapuh, suaranya berubah menjadi sengau,
tak mampu menyetabilkan nada yang keluar. Saat itulah, ia mulai sangat
membutuhkan belaian kasih sang anak. Ia mulai memerlukan adanya orang
lain di sisinya, untuk menyelesaikan segala hal, termasuk
pekerjaan-pekerjaan ringan sekalipun, yang selama ini bisa dia
selesaikan seorang diri. Saat itulah, bakti seorang anak menjadi suatu
hal yang teramat dibutuhkan:
“ Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:”Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.(Al-Isra : 23-24)
Saat
usia semakin tua, bisa jadi kepekaan seorang ibu bertambah. Ia lebih
mudah tersinggung, lebih mudah melampiaskan amarahnya, lebih mudah
tersentuh hatinya hanya oleh kata-kata atau ucapan, yang bila itu
diucapkan seorang anak di waktu mudanya, tidak akan diperdulikan sama
sekali. Oleh sebab itu, Al-Qur’an memberikan bimbingan yang demikian
santun, agar seorang anak membiasakan diri berbicara dan bersikap secara
mulai, santun dan terpuji, terhadap kedua orang tuanya, terutama sekali
ibunya.
Suatu
hari, Rasulullah naik ke atas mimbar, lalu beliau berkata: “Amin, amin,
amin.” Kontan, seorang Sahabat bertanya: “Kenapa engkau mengucapkan
amin, amin dan amin, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tadi datang
Jibril menemuiku, lalu ia berkata: “Barangsiapa yang menjumpai bulan
Ramadhan, lalu ia tidak mendapatkan ampunan Allah, maka ia pasti masuk
Neraka. Jauhilah hamba-Mu ini dari siksa Neraka.” Akupun berkata:
‘Amin.’ Lalu Jibril berkata lagi: “Barangsiapa yang mendapatkan salah
seorang dari kedua orang tuanya, atau keduanya, pada saat mereka sudah
berusia lanjut, namun ia tidak berkesempatan berbakti kepada mereka,
maka ia pasti masuk Neraka. Jauhilah hamba-Mu ini dari siksa Neraka.”
Akupun berkata: ‘Amin.’ Lalu Jibril berkata lagi: “Barangsiapa yang
mendengar namaku (Nabi Muhammad) disebutkan, lalu ia tidak membaca
shalawat untukku, maka bila ia mati, ia pasti masuk Neraka. Jauhilah
hamba-Mu ini dari siksa Neraka.” Akupun berkata: ‘Amin.‘ Diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban (904, oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (646) dan
Ibnu Khuzaimah (1888)
dinukil dari buletin ustadzkholid
Jangan Mendurhakainya!
Mendurhakai
orang tua adalah dosa besar. Dan berbuat durhaka terhadap ibu adalah
dosa yang jauh lebih besar lagi. Melalui pelbagai penjelasan Islam
tentang ‘kewajiban kita’ terhadap sang ibunda, kita dapat menyadari
bahwa berbuat durhaka terhadapnya adalah sebuah tindakan paling
memalukan yang dilakukan seorang anak berakal.
Imam An-Nawawi menjelaskan, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan
keharusan berbuat baik kepada ibu sebanyak tiga kali, baru pada kali
yang keempat untuk sang ayah, karena kebanyakan sikap durhaka dilakukan
seorang anak, justru terhadap ibunya[9].”
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya
Allah mengharamkan sikap durhaka terhadap ibu danmelarang mengabaikan
orang yang hendak berhutang. Allah juga melarang menyebar kabar burung,
terlalu banyak bertanya dan membuang-buang harta[10].”
Ibnu
Hajar memberi penjelasan sebagai berikut, “Dalam hadits ini disebutkan
’sikap durhaka’ terhadap ibu, karena perbuatan itu lebih mudah dilakukan
terhadap seorang ibu. Sebab, ibu adalah wanita yang lemah. Selain itu,
hadits ini juga memberi penekanan, bahwa berbuat baik kepada itu harus
lebih didahulukan daripada berbuat baik kepada seorang ayah, baik itu
melalui tutur kata yang lembut, atau limpahan cinta kasih yang mendalam[11].”
Sementara,
Imam Nawawi menjelaskan, “Di sini, disebutkan kata ‘durhaka’ terhadap
ibu, karena kemuliaannya yang melebihi kemuliaan seorang ayah[12].”
Kapan seseorang disebut durhaka? Imam Ash-Shan’aani menjelaskan, “Imam Al-Bulqaini menerangkan bahwa arti kata durhaka yaitu: apabila
seseorang melakukan sesuatu yang tidak remeh menurut kebiasaan, yang
menyakiti orang tuanya atau salah satu dari keduanya. Dengan
demikian, berdasarkan definisi itu, bila seorang anak tidak mematuhi
perintah atau larangan dalam urusan yang sangat sepele yang menurut
hukum kebiasaan itu tidak dianggap ‘durhaka’, maka itu bukan termasuk
kategori perbuatan durhaka yang
diharamkan. Namun bila seseorang melakukan pelanggaran terhadap
larangan orang tua dengan melakukan perbuatan dosa kecil, maka yang
dilakukannya menjadi dosa besar, karena kehormatan larangan orang tua.
Demikian juga, disebut durhaka, bila seorang anak melanggar larangan
orang tua yang bertujuan menyelamatkan si anak dari kesulitan[13].”
Ibnu
Hajar Al-Haitsami menjelaskan, “Kalau seseorang melakukan perbuatan
yang kurang adab dalam pandangan umum, yang menyinggung orang tuanya,
maka ia telah melakukan dosa besar, meskipun bila dilakukan terhadap
selain orang tua, tidaklah dosa. Seperti memberikan sesuatu dengan
dilempar, atau saat orang tuanya menemuinya di tengah orang ramai, ia
tidak segera menyambutnya, dan berbagai tindakan lain yang di kalangan
orang berakal dianggap ‘kurang ajar’, dapat sangat menyinggung perasaan
orang tua[14].”
Ibnu
Hajar Al-Asqalani menjelaskan, “Arti durhaka kepada orang tua yaitu
melakukan perbuatan yang menyebabkan orang tua terganggu atau terusik,
baik dalam bentuk ucapan ataupun amalan..[15]“
Imam Al-Ghazali menjelaskan, “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa taat kepada orang tua wajib, termasuk dalam hal-hal yang masih syubhat, namun
tidak boleh dilakukan dalam hal-hal haram. Bahkan, seandainya keduanya
merasa tidak nyaman bila makan sendirian, kita harus makan
bersamamereka. Kenapa demikian? Karena menghindari syubhat termasuk
perbuatanwara’ yang
bersifat keutamaan, sementara mentaati kedua orang tua adalah wajib.
Seorang anak juga haram bepergian untuk tujuan mubah ataupun sunnah,
kecuali dengan ijin kedua orang tua. Melakukan haji secepat-cepatnya
bahkan menjadi sunnah, bila orang tua tidak menghendaki. Karena
melaksanakan haji bisa ditunda, dan perintah orang tua tidak bisa
ditunda. Pergi untuk menuntut ilmu juga hanya menjadi anjuran,
bila orang tua membutuhkan kita, kecuali, untuk mempelajari hal-hal
yang wajib, seperti shalat dan puasa, sementara di daerah kita tidak ada
orang yang mampu mengajarkannya..[16]“
Seringkali
seorang anak membela diri saat dikecam sebagai anak yang durhaka
terhadap ibunya, dengan pelbagai alasan yang dibuat-buat, atau sekadar
mengalihkan perhatian kepada soal lain. ‘Seharusnya kan orang tua itu
lebih tahu,’ ‘Seharusnya seorang ibu mengerti perasaan anak,’
‘Seharusnya seorang ibu itu lebih bijaksana daripada anaknya,’
‘Seharusnya seorang ibu tidak boleh memaksakan kehendak,’ dan berbagai
alasan kosong lainnya. Yah, taruhlah, dalam suatu kasus, si ibu memang
melakukan kesalahan, dengan memaksakan kehendaknya, atau bersikap kurang
bijaksana. Namun saat si anak membantah perintah atau larangan ibunya,
apalagi dia mengerti bahwa yang dikehendaki oleh ibunya itu adalah baik,
meski kurang tepat, tidak pelak lagi, si anak telah berbuat durhaka. Di
sinilah seharusnya ‘kunci kesabaran’ dan tingkat ‘kesadaran’ terhadap
syariat Allah, juga penghormatan terhadap orang tua, dapat menggeret
seseorang mengambil jalan mengalah,
meskipun ia harus mengorbankan banyak hal, termasuk harta, dan juga
cita-citanya. Selama hal itu dapat membahagiakan sang ibu, seharusnya ia
berusaha untuk memenuhi kehendaknya.
Abdullah
bin Ali Al-Ju’aitsan menegaskan, “Apabila kita sudah menyadari betapa
besar hak seorang ibu terhadap anaknya, dan betapa besar dosa perbuatan
durhaka terhadapnya, atau dosa sekadar lalai memperhatikannya,cobalah,
segera berbakti kepadanya, maafkan segala kekeliruannya di masa lampau,
berusaha dan berusahalah untuk selalu menjalin hubungan baik dengannya.
Berusahalah untuk menyenangkannya, dan dahulukan upaya memperhatikannya
daripada segala hal yang kita sukai. Berupayalah untuk memenuhi
kebutuhannya selekas mungkin, jangan sampai menyusahkannya. Ingatlah
firman Allah:
“Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al-Israa : 24)
[9] Lihat Syarah Muslim oleh Imam An-Nawaawi I : 194.
[10] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari VI : 331, Muslim III : 1341, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya XII : 36.
[11] Lihat Fathul Baari V : 68.
[12] Syarah Muslim XII : 11.
[13] Lihat Subulus Salaam IV : 162.
[14] Az-Zawaajir II : 73.
[15] Lihat Fathul Baari I : 420.
[16] Lihat
Ihyaa ‘Ulumuddien oleh Imam Al-Ghazali. Buku ini mengandung berbagai
pelajaran akhlak yang baik. Sayang, terlalu banyak mengandung
hadits-hadits lemah dan palsu, selain mengandung pengajaran tasawuf yang
menyimpang dari pemahaman yang benar. Para ulama banyak memperingatkan
terhadap bahaya kitab ini. Namun mereka juga masih sering menukil
beberapa persoalan akhlak, dari buku ini. Untuk itu, kami juga
memperingatkan agar menghindari membaca buku ini, kecuali bagi penuntu
ilmu yang mapan atau ulama yang sudah bisa memilah-milah yang baik
dengan yang tidak. Semoga Bermanfaat